Kita Adalah Petani

Petani mengajarkan pada kita bahwa hidup itu menanam. Tanam semua yang bisa bermanfaat. Kelak akan ada yang bisa dipetik. Menanam pada berbagai macam lahan. Kadang menemukan tanah subur. Tidak jarang tanah tandus pun diurus.
Petani mengajarkan pada kita bahwa makan itu gampang. Bertahan hidup itu mudah bagi mereka. Datanglah ke ladang, ambil yang telah kau tanam. Tidak pernah risau masalah perut, in syaa Allaah ada yang bisa dimakan.
Barangkali kita lupa bahwa kita adalah petani, ya bisa jadi petani sebelum segala hal. Karena kealpaan kita itulah bangsa ini semrawut. Semua inginnya memanen. Melihat peluang sama seperti cara memandang orang sehari tidak makan. Lalu siapa yang mengganti jutaan petani yang sudah lemas dan malas menanam?!.
Risaunya kita dengan kondisi perut menunjukkan kelemahan yang selemah-lemahnya. Akibatnya susah sekali rasa berkorban dan ikhlas itu muncul. Padahal para petani sejati tidak pernah risau masalah itu.
Mari lakukan kembali aktivitas bertani kita. Kita adalah petani. Petani sejati.

Masih Ada Pahlawan

Aku yakin masih ada pahlawan bagi negeri ini
Aku yakin masih akan terlahir lagi pahlawan masa depan
Aku yakin masih terus mengalir darah pahlawan pada anak bangsa ini
Aku yakin masih tersisa sengatan kepahlawanan untuk pemuda

Dada itu menyimpan cahaya sisa kobaran masa lalu
Udaranya menyelinap terpompa getaran sejarah
Keberanian merasuki setiap pembuluh harapan
Suci mengekang kendali

Waktu ….

Penyatuan Nusantara

PENYATUAN NUSANTARA:
FAKTA DAN FIKSI
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dari kiriman whatsapp 8/4/15

“Majapahitisme”
Majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit. Ditegaskan pada bahasan utama: Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi Negara Adidaya.

Mengutip ramalan Goldman Sach, Majalah Hindu ini menyatakan, tahun 2050 Indonesia akan menjadi Negara maju ke-7 setelah Cina, USA, India, Brazil, Mexico dan Rusia. Prediksi ini, katanya, cocok dengan ramalan Jayabaya bahwa di tahun 2000 Saka (2078 M), Nusantara menjadi negara Adikuasa.

Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila meyoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi Negara Adidaya. Satu-satunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini, demikian tulis majalah yang terbit di Jakarta ini.

Di dalam pengantar redaksi, disebutkan: Pohon bisa tumbuh besar dan kuat menghadapi badai adalah yang akarnya tertanam jauh di dalam tanah. Bukan pohon hasil cangkokan atau tempelan. Dan pohon yang tumbuh dalam habitatnya akan menghasilkan buah yang baik. Salak Nongan di Karangasem, tidak akan menghasilkan buah yang sama kualitasnya bila ditanam di Ubud. Pohon kurma yang habitatnya di gurun pasir tidak akan berbuah di daerah subur dan banyak hujan seperti Indonesia. Jika Indonesia ingin maju maka ia harus kembali ke akar budayanya.

Jadi, simpul MEDIA HINDU: Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.

Harapan dan imbauan MEDIA HINDU ini sejalan dengan mitos nasional yang selama ini dibangun di Indonesia khususnya melalui pendidikan sejarah bahwa Indonesia memang pernah mengalami puncak kejayaan di masa Kerajaan Hindu Majapahit, terutama di era pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Berbagai buku sejarah menulis, bahwa di Nusantara ini, hanya pernah ada dua Kerajaan di Indonesia yang bersifat Nasional, yaitu Kerajaan Sriwijaya (Budha) dan Kerajaan Majapahit (Hindu). Islam belum pernah menyatukan Nusantara. Itulah informasi yang mudah kita jumpai di berbagai buku sejarah.

Tokoh Kristen di Indonesia, TB Simatupang, pernah menulis bahwa Indonesia tidak pernah mengalami sebuah kerajaan Islam yang mencakup seluruh Indonesia, seperti di zaman Mogul di India. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya yang Budha dan Majapahit yang Hindu, pernah mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara. Tetapi tidak pernah ada jaman Islam dalam arti kerajaan yang mencakup seluruh negeri, tulis TB Simatupang. Begitulah, lanjutnya, dalam arti tertentu, yang menggantikan Majapahit adalah pemerintahan kolonial Belanda dan yang menggantikan yang terakhir tersebut adalah pemerintahan Republik Indonesia. (Lihat, T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997). hal. 11).
Pendeta Dr. Eka Darmaputera, balam bukunya, mengakui, dibandingkan dengan kebudayaan asli dan Hindu, Islam jauh lebih berhasil menanamkan pengaruhnya pada seluruh lapisan masyarakat. Ia berhasil mencapai rakyat biasa dan menjadi agama dari mayoritas penduduk Indonesia. Namun demikian, ia tidak menciptakan suatu peradaban baru. Sebaliknya, dalam arti tertentu, ia harus menyesuaikan diri dengan peradaban yang telah ada, tulis Eka Darmaputera. (Lihat, Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997), hal. 34).

Doktrin tentang penyatuan Nusantara oleh Kerajaan Budha dan Hindu seperti itulah yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah, bahkan kadangkala juga di berbagai pondok pesantren, melalui pengajaran Sejarah. Sebagai contoh, buku Sejarah untuk SMA Kelas X, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), menulis, bahwa saat pelantikannya sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil disatukan di bawah Panji Kerajaan Majapahit. Ditulis: Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya. Selama hidupnya, Patih Gajah Mada menjalankan politik persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M. (hal. 48).

Jadi, disimpulkan, bahwa Indonesia pernah jaya dan hebat di zaman Hindu. Kemudian, dikatakan, datanglah Islam, yakni Kerajaan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah, untuk menghancurkan kejayaan Indonesia itu. Tentang keruntuhan Kerajaan Majapahit, ditulis dalam buku pelajaran sejarah tersebut: Suatu tradisi lisan yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah (Demak). (hal. 49).

Tentu, penggambaran semacam itu bisa menimbulkan salah paham dan citra buruk terhadap Islam. Dalam bukunya, Genealogi Keruntuhan Majapahit, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Nengah Bawa Atmadja mengutip buku Islam Kejawen (2004) karya Hariwijaya dan buku Ramalan Ghaib Sabdo Palon Noyo Genggong (2006) karya S. Hardiyanto, yang menggambarkan keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan tikus, tawon dan setan (demit).

Pendek kata, ungkapan bahwa Majapahit runtuh karena diserang oleh tikus, tawon, dan setan memiliki makna konotatif. Dalam konteks ini Majapahit runtuh karena diserang oleh Demak. Demak adalah musuh dalam selimut yang menghancurkan Majapahit secara tersembunyi dari dalam pada saat Majapahit lengah dan berada dalam kondisi sakit keras. Serangan ini terjadi secara tiba-tiba dan beramai-ramai. (hal. 12).

Islam datang untuk menghancurkan kejayaan Indonesia. Logikanya, kalau mau mengalami kejayaan, Islam harus disingkirkan dari simbol-simbol dan lambang kenegaraan. Kembalilah ke Majapahit! Kembalilah ke Hindu, jika ingin meraih kejayaan! Islam ditempatkan sebagai musuh persatuan, sehingga perlu diupayakan agar istilah dan simbol-simbol Islam dijauhkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Raden Patah digambarkan sebagai penghancur prestasi Gajah Mada yang berhasil menyatukan Nusantara!

Upaya menyingkirkan Islam dari kehidupan berbangsa dan bernegara ini sudah disadari oleh para cendekiawan Muslim di Indonesia. Cendekiawan Muslim Haji Agus Salim, tahun 1941, menulis sebuah buku berjudul Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia (dicetak ulang dan diterbitkan oleh Tintamas Jakarta, 1962). Haji Agus Salim mengklarifikasi cerita tentang keruntuhan Majapahit akibat serangan Islam. Bahkan, menurut cendekiawan legendaris ini, Majapahit tidak runtuh pada 1478 M, saat ibu kota Majapahit diserang oleh Girindrawardhana. Encyclopædie van Nederlandsch-Indië mencatat bahwa seorang pelaut Portugis, Pigafetta, memberitakan pada 1463 Çaka (1541) Majapahit masih berdiri. Jadi, anggapan bahwa tahun 1478 adalah tahun runtuhnya Majapahit akibat serangan tentara Islam adalah keliru yang bersumber dari para penjelajah bahari Portugis (hlm. 19-20).

Kontroversi ”Majapahitisme
Benarkah Majapahit pernah menyatukan Nusantara? Sejumlah sejarawan memang menggambarkan kebesaran Majapahit. Mengutip buku Sriwijaya (2008), karya Slamet Mulyana, Yudi Latif menulis: Selepas Sriwijaya, giliran Kerajaan Majapahit yang menguasai sebagian besar (wilayah pantai) Nusantara, bahkan meluas ke arah Barat hingga bagian tertentu di Vietnam Selatan dan ke arah Timur sampai di bagian Barat Papua. (Lihat, Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), hal. 260).

Para cendekiawan Muslim sudah lama mengkritisi rekayasa penonjolan Hinduisme dan pengecilan Islam ini. Buya Hamka yang di tahun 2011 ini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional — dalam Tafsir al-Azhar, sudah menulis, bahwa bangsa Indonesia selama ini dididik untuk menjauhkan nasionalisme dengan Islam dan hendaklah bangsa ini lebih mkencintai Gajah Mada ketimbang Raden Patah. Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah.” (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar — Juzu VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 300.).

Karena opini tentang kehebatan Majapahit tersebut sudah begitu dominan, bisa dimaklumi, bahwa sebagian kaum Hindu di Indonesia berpikir, bahwa bangsa ini harus kembali menjadi Hindu, bila ingin menjadi bangsa besar, sebagaimana dicitakan oleh Majalah Media Hindu (edisi Oktober 2011) tersebut.

Prof. Dr. Hamka pernah menulis sebuah artikel menarik berjudul Islam dan Majapahit”, yang dimuat dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982). Hamka memulai artikelnya dengan ungkapan pembuka: Meskipun telah hidup di zaman baru dan penyelidik sejarah sudah lebih luas dari pada dahulu, masih banyak orang yang mencoba memutar balikkan sejarah. Satu di antara pemutarbalikkan itu ialah dakwah setengah orang yang lebih tebal rasa Hindunya daripada Islamnya, berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam. Padahal bukanlah begitu kejadiannya. Malahan sebaliknya.
Hamka menjelaskan, bahwa Kerajaan Majapahit pada zaman kebesarannya, terutama semasa dalam kendali Patih Gajah Mada, memang adalah sebuah kerajaan Hindu yang besar di Indonesia, dan pernah mengadakan ekspansi, serangan dan tekanan atas pulau-pulau Indonesia yang lain. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan daftar negeri taklukkan Majapahit. Berbagai Kerajaan, baik Hindu, Budha, maupun Kerajaan Islam ditaklukkan.

Kerajaan Islam Pasai dan Terengganu pun dihancurkan oleh Majapahit. Pasai tidak pernah bangkit lagi sebagai sebuah kerajaan. Tapi, Pasai kaya dengan para ulama. Di dalam sejarah Melayu, Tun Sri Lanang menulis, bahwa setelah Kerajaan Malaka naik dan maju, senantiasa juga ahli-ahli agama di Malaka menanyakan hukum-hukum Islam yang sulit ke Pasai. Dan jika ada orang-orang besar Pasai datang ziarah ke Malaka, mereka disambut juga oleh Sultan-sultan di Malaka dengan serba kebesaran.

Menurut Hamka, jika Pasai ditaklukkan dengan senjata, maka para ulama Pasai kemudian dating ke Tanah Jawa dengan dakwah, dengan keteguhan cita-cita dan ideologi. Para ulama datang ke Gresik sambil berniaga dan berdakwah. Terdapatlah nama-nama Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ibrahim Asmoro, atau Jumadil Kubro, ayah dari Maulana Ishak yang berputera Sunan Giri (Raden Paku) dan Sunan Ngampel (Makhdum Ibrahim).

Dengan sabar dan mempunyai rancangan yang teratur, guru-guru Islam berdarah Arab-Persia-Aceh, itu menyebarkan agamanya di Jawa Timur, sampai Giri menjadi pusat penyiaran Islam, bukan saja untuk tanah Jawa, bahkan sampai ke Maluku. Sampai akhirnya Sunan Bonang (Raden Rahmat) dapat mengambil Raden Patah, putra Raja Majapahit yang terakhir (Brawijaya) dikawinkan dengan cucunya, dan akhirnya dijadikan Raja Islam yang pertama di Demak, tulis Hamka.

Tindakan para wali dalam penyebaran Islam di Jawa itu tidak dapat dicela oleh raja-raja Majapahit. Bahkan, kekuasaan dan kewibawaan mereka di tengah masyarakat semakin meluas. Ada wali yang diangkat sebagai adipati Kerajaan Majapahit. Hamka menolak keras pandangan yang menyatakan, bahwa Majapahit runtuh karena diserang Islam. Itu adalah pemutarbalikan sejarah yang sengaja disebarkan oleh orientalis seperti Snouck Hourgronje. Upaya ini dilakukan untuk menjauhkan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan Islam sebagai basis semangat kebangsaan. Maksud ini berhasil, papar Hamka.

Akibatnya, dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga. Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit.

Simaklah paparan Hamka selanjutnya berikut ini:
“Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohkan kesatuan bangsa Indonesia, di bawah lambaian Merah Putih!

Kalau tuan membusungkan dada menyebut Gajah Mada, maka orang di Sriwijaya akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur itu ialah seorang Raja Budha dari Sumatra yang pernah menduduki pulau Jawa.

Kalau tuan membanggakan Majapahit, maka orang Melayu akan membuka Sitambo lamanya pula, menyatakan bahwa Hang Tuah pernah mengamuk dalam kraton sang Prabu Majapahit dan tidak ada kstaria Jawa yang berani menangkapnya.

Memang, di zaman jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.

Tahukan tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Diponegoro, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai Amir Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocordan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan disana beliau berkubur buat selama-lamanya?

Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana.

Begitulah paparan dan imbauan Buya Hamka. Penyesalan dan dendam tentang pengislaman Nusantara seyogyanya tidak perlu dipelihara. Apalagi, kemudian mengikuti kemauan dan skenario penjajah untuk mengerdilkan peran Islam dan memposisikan Islam sebagai agama yang anti-budaya bangsa, sebab budaya bangsa sudah dipersepsikan identik dengan ke-Hindu-an atau ke-Budha-an. Hukum adat dan warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan, masih saja berpikir, bahwa Islam bukanlah jatidiri bangsa Indonesia. Islam tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekular di luar agama.
Ternyata, bukan hanya kalangan Islam yang mengkritisi pengagungan Majapahit secara berlebihan. Majalah Hindu RADITYA, edisi 134 (Oktober 2008), mengangkat tema utama tentang Kebangkitan Majapahit. Berbeda dengan banyak orang Hindu, Majalah Hindu ini justru mengkritisi jargon-jargon dan semangat orang Hindu untuk kembali ke era Majapahit, sebab menganggap Kebesaran Majapahit adalah kebesaran agama Hindu. Pemahaman yang menganggap kejayaan Majapahit sebagai kejayaan Hindu adalah suatu kesimpulan yang harus dikoreksi, tulis majalah ini. Lebih jauh, Majalah ini menulis:
Majapahitisme atau keterpesonaan terhadap Hindu di zaman majapahit tidaklah ideal. Pertama, karena pada masanya saja, masyarakat Hindu Majapahit gagal mempertahankan eksistensinya, gara-gara lebih banyak terlibat konflik internal bikinan elite Majapahit ketika itu. Siwa-Budha kala itu pun tidak bisa berperan banyak dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, tat twam asi dan sejenisnya. Majapahit selain berhasil menundukkan banyak daerah bawahan, juga sibuk perang saudara. Agama di dalam masyarakat seperti ini lebih menjadi bersifat gaib, eksklusif, hanya untuk berhubungan dengan dewa-dewa yang abstrak. Agama Siwa Budha meskipun sudah menjadi agama kerajaan tidak bisa diamalkan oleh elite di sana yang lebih dikuasai motif politik, motif perebutan kekuasaan. Agama gagal menginspirasi kehidupan sehari-hari tentang hal-hal lebih praktis menyangkut pola interaksi antarindividuJika Majapahit meninggalkan hal-hal pahit bagi penganut Hindu ketika itu, lantas apa enaknya mengenang hal-hal pahit? \

Dalam wawancara dengan Majalah Raditya tersebut, Guru besar sejarah, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gede Parimartha menyatakan, bahwa Mengangung-agungkan Majapahit lebih banyak merugikan. Dilihat dari system kehidupan yang dibawa Majapahit, tampak membawa pengaruh pada bentuk-bentuk ketimpangan sosial. Sistem kasta yang rumit sering menimbulkan konflik sesama masyarakat Bali.

Penjelasan Prof. S.M.Naquib al-Attas.
Prof. Naquib al-Attas adalah ilmuwan yang sejak berpuluh tahun lalu sudah mengungkap adanya upaya untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Kata Prof. Al-Attas:
Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini. Namun begitu, baik dalam tulisan Hurgronje maupun dalam tulisan Van Leur, tidak terdapat hujjah-hujjah ilmiah yang mempertahankan pandangan demikian mengenai Islam dan peranan sejarahnya. (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 36).

Al-Attas menekankan pentingnya melihat wilayah Nusantara sebagai satu kesatuan peradaban Melayu, dengan menempatkan faktor Islam sebagai unsur yang dominan. Wilayah itu kini dihuni oleh lebih dari 200 juta kaum Muslim. Memang, banyak cendekiawan yang merumuskan bahwa agama merupakan unsur pokok dalam suatu peradaban (civilization). Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu peradaban. Sebab itu, Bernard Lewis menyebut peradaban Barat dengan sebutan Christian Civilization, dengan unsur utama agama Kristen. Samuel P. Huntington juga menulis: Religion is a central defining characteristic of civilizations. Menurut Christopher Dawson, The great religions are the foundations of which the great civilizations rest. Di antara empat peradaban besar yang masih eksis Islam, Barat, India, dan Cina, menurut Huntington, terkait dengan agama Islam, Kristen, Hindu, dan Konghucu. (Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, hal. 47 ; Bernard Lewis, Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993).

Peradaban-peradaban kuno, seperti Mesopotamia dan Mesir Kuno juga menempatkan agama sebagai unsur utama peradaban mereka. Marvin Perry mencatat: Religion lay at the center of Mesopotamian life. Every human activity – political, military, social, legal, literary, artistic – was generally subordinated to an overriding religious purpose. Religion was the Mesopotamians’ frame of reference for understanding nature, society, and themselves; it dominated and inspired all other cultural expressions and human activities. (Marvin Perry, Western Civilization A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), hal. 9).

Dalam tradisi peradaban Mesir Kuno, agama menempati peranan yang sangat penting: Religion was omnipresent in Egyptian life and accounted for the outstanding achievements of Egyptian civilization. Religious beliefs were the basis of Egyptian art, medicine, astronomy, literature, and government. (Ibid, hal. 15).

Karena itulah, al-Attas menyebutkan bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di wilayah Nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan bahasa Muslim kedua terbesar yang digunakan oleh lebih dari 100 juta jiwa. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal. 169-179. Angka 100 juta itu disebut al-Attas pada tahun 1969, saat ia menerbitkan bukunya Preliminary Statement on a General Theory of Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago. Tahun 2007, jumlah Muslim di kepulauan itu sudah lebih dari 200 juta jiwa. Penduduk Muslim Indonesia sahaja, ada sekitar 180 juta jiwa.).

Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini:
Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness. It is the logical conclusion of this process that created the evolution of the greater part of the Archipelago into the modern Indonesian nation with Malay as its national language The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego (Ibid, hal. 178).
Al-Attas mengkritik keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis:
Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka. (S.M. Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal. 41).

Al-Attas juga menekankan kekeliruan hasil penelitian ilmiah Barat yang meletakkan serta mengukuhkan kedaulatan kebudayaan dan peradaban Jawa sebagai titik tolak permulaan kesejarahan Kepulauan Melayu-Indonesia. anggapan seperti inilah hingga dewasa ini masih merajalela tanpa gugatan dalam pemikiran kesejarahan kita. (Ibid, hal. 40-41).

Paparan al-Attas tentang peran Islam dan bahasa Melayu dalam kebangkitan kesadaran nasional dipertajam lagi dengan hadirnya buku terbaru al-Attas yang berjudul Historical Fact and Fiction (HFF), (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, 2011). Buku ini sangat fantastis, melihat ketajaman analisis dan kekayaan referensi yang digunakannya. Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menilai buku HFF ini sebagai salah satu karya besar dari al-Attas. Dengan karya ini, menurut Prof Wan Mohd Nor, al-Attas pantas disebut sebagai salah satu ahli falsafah sejarah di dunia Islam. Tokoh lain adalah Almarhum Malek Bennabi dari Aljazair (m. 1973). Buku terbaru SMN al-Attas, Historical Fact and Fiction (HFF), meneguhkan kembali kepeloporan dan kependekaran beliau dalam masalah sejarah, khususnya sejarah di alam Melayu, yang dipeganginya selama lebih 40 tahun secara penuh istiqamah, tulis Prof. Wan Mohd Nor (Republika, 20 Oktober 2011).

Melalui buku ini, al-Attas berhasil membalik berbagai pandangan umum tentang sejarah Islam dan Melayu yang sudah dianggap mapan, sebagaimana yang selama ini diteorikan oleh sejarawan lain. Al-Attas, misalnya, memperjelas kembali gambaran bagaimana keberhasilan para pendakwah Islam (digunakan istilah misionaris Islam) dalam mengangkat dan mengislamkan bahasa Melayu, sehingga berhasil menjadi bahasa persatuan di wilayah Nusantara.
Bahasa Melayu yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Sumatra, kemudian diangkat, di-Islamisasi, dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah di wilayah Nusantara ini. Karena itulah, simpul al-Attas, bahasa Melayu dan agama Islam,merupakan dua faktor penting yang berjasa dalam upaya penciptaan semangat kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara. (The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself. Historians of the Archipelago have never considered language as an important source material for the study of history.” HFF, hal. xvi).

Jadi, menurut al-Attas, disamping agama Islam, penyebaran bahasa Melayu merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan semangat kebangsaan. Dalam buku HFF, al-Attas menguraikan salah satu kesimpulan penting, yakni bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara ini utamanya bukan dilakukan oleh pedagang, tarekat sufi, atau kaum Syiah, secara sambilan atau asal-asalan. Dengan bukti-bukti yang kuat dari karya para penulis Muslim klasik, sumber-cumber Cina dan Eropa, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa Islamisasi di Nusantara ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para misionaris Islam yang hebat. Islamisasi di wilayah seluas ini bukanlah pekerjaan sambilan dan asal-asalan: the spread of Islam by these Arab missionaries in the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair It was a gradual process, but it was planned and organized and executed in accordance with timelines and situation. (HFF, hal. 32).

Seperti yang diungkapkan al-Attas, kaum orientalis Belanda telah lama berusaha mengecilkan peran Islam di wilayah ini. Snouck Hurgronje, misalnya. Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.

Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: Suara Azan dan Lonceng Gereja. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren. (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).

Snouck Hurgronje juga mendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi. Sebuah suratnya yang tertanggal: Leiden 28 Januari 1889 beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia isinya menunjukkan bahwa Snouck menyetujui pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha Kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah. (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke 19. (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1984), hal. 241 242).

Hasil kajian Prof. Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan penjajahan.
Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.. (Prof. Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 106). .

Sejarah juga menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa Persatuan sempat ditolak oleh kaum Kristen. J.D. Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya. Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. (Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009).

Identitas peradaban
Melalui buku terbarunya, Prof. Naquib al-Attas kembali menegaskan bahwa jati diri bangsa Melayu-Indonesia sejatinya adalah Muslim. Mereka adalah bangsa Muslim. Identitas dan jati diri Melayu-Islam itu seharusnya dimanfaatkan oleh bangsa Melayu-Indonesia untuk membangun negeri mereka secara sungguh-sungguh sehingga mampu tampil sebagai salah satu peradaban yang kuat di muka bumi.

Jika nilai-nilai Islam disingkirkan, dan nilai-nilai di luar Islam ditempatkan sebagai jati diri dan simbol-simbol kebangsaan Indonesia, maka Muslim Indonesia didorong untuk tidak memiliki perasaan memiliki terhadap negeri ini. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Itulah yang misalnya selama ini terjadi dalam kasus Pancasila. Banyak kaum Muslim dipaksa tidak merasa memiliki Pancasila karena Pancasila diajarkan di sekolah-sekolah dalam perspektif sekular dan peradaban lain untuk menggantikan Islam.

Tuhan Yang Maha Esa dalam Pancasila (dan Pembukaan UUD 1945) jelas-jelas bernama Allah SWT, dikaburkan makna dan nama-Nya, menjadi Tuhan apa pun. Padahal, Allah SWT adalah Tuhan kaum Muslim. Satu-satu-Nya kitab suci di Indonesia yang sejak awal hingga kini memuat nama Tuhan bernama Allah, hanya al-Quran. Kaum Kristen di Indonesia kemudian meminjam kata Allah itu untuk menyebut Tuhan mereka dengan Allah. Tetapi, ‘Allah’ yang disebut kaum Kristen memiliki sifat yang sangat berbeda dengan Allah-nya orang Islam. Sebab, Allah dalam al-Quran tidak pernah mengangkat manusia menjadi Tuhan. Jadi, Tuhan yang resmi disebut nama-Nya dalam Kosntitusi UUD 1945 adalah Allah SWT.

Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin (alm.), dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa berarti Kekuasaan Allah atau Kedaulatan Allah. (hal. 31). Negara RI, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara. (hal. 34).

Upaya untuk memisahkan kaum Muslim dari identitas kenegaraan selama ini sudah gagal. Ketika Pancasila dipaksakan untuk menggusur agama dijadikan sebagai worldview dan pedoman amal maka Pancasila dipaksa untuk berbenturan dengan agama, khususnya Islam. Tahun 1951, Buya Hamka, pernah menulis satu artikel berjudul Urat Tunggang Pancasila, yang ditutup dengan satu kesimpulan:
Suatu kenyataan, adalah bahwa agama Islam dipeluk oleh golongan terbesar dari bangsa Indonesia. Pengaruh agama Islam berurat berakar pada Kebudayaannya dan adat-istiadatnya. Boleh dikatakan bahwa orang tidak mengenal corak lain di Indonesia, kecuali Islam. Pancasila sebagai Filsafat Negara Indonesia, akan hidup dengan suburnya dan dapat terjamin, sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanya, sehingga agama menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnyaDan percubaan mencuri jalan air buat menjamin suburnya Pancasila di Indonesia adalah suatu Tahsisul Umyan; laksana raba-rabaan orang buta, di malam gelap gulita. Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat. Maka untuk menjamin Pancasila marilah kita bangsa Indonesia yang mengakui Allah sebagai Tuhannya, dan Muhammad sebagai Rasul, bersama-sama menghidupkan agama Islam dalam masyarakat kita. (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, (Jakarta: Media Dakwah, 1985).

Wallahu alam bil-shawab.

Kimse Yok Mu

Kimse Yok Mu
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Dari kiriman whatsapp bp eko heru prayitno 7/4/15

“Kimse Yok Mu”, itulah tulisan yang terpampang dalam sebuah bangunan tiga lantai di pusat kota Istanbul Turkey. Makna tulisan itu ternyata historis. Ceritanya pada 17 Agustus 1999 di Turkey terjadi gempa bumi berkekuatan 6,1 skala richter.

Akibatnya beberapa gedung bertingkat roboh, korban berjatuhan. Seorang nenek yang tua renta tertimbun di reruntuhan bahan bangunan. Syukur ia masih hidup. Tapi tidak seorang pun datang menolongnya. Ia berteriak-teriak “Kimse Yok Mu…. Kimse Yok Mu… Kimse Yok Mu…” artinya apakah ada orang disitu.

Ternyata nenek itu tidak sendirian. Yang lain pun berteriak sama Kim Se Yok Mu… Kim Se Yok Mu…. Banyak lembaga bantuan kemanusiaan, tapi tidak semua bekerja cepat dan sesuai dengan hajat korban. Memang.

Nenek dan korban-korban lain itu pun diselamatkan oleh LSM dari dalam negeri Turkey sendiri. Stasiun TV Samanyolu turun tangan. Kimse Yok Mu seperti terdengar di seantero Turkey. Negeri yang telah disekulerkan puluhan tahun itu ternyata masih menyisakan prinsip berkhidmah dalam Islam yang besar pahalanya itu.

Tapi kasus nenek-nenek itu bukan pemicu kesadaran berkhidmah. Adalah Fathullah Gulen, seorang guru bangsa, yang memetikkan api khidmah itu. Maka, salah satu program S TV diberi nama “Kimse Yok Mu”. Inilah yang mengilhami berdirinya LSM dan sekaligus mengambil nama dari keluhan nenek itu “Kim Se Yok Mu”. Program TV itu semakin hari semakin banyak pemirsanya. Donasi yang diberikan oleh para donatur itu diluar dugaan program TV.

Pada tahun 2002 didirikanlah sebuah asosiasi untuk menampung jumlah donatur yang semakin meningkat itu. Asosiasi yang kemudian dinamakan Kimse Yok Mu itu pada bulan Maret, 2004 berkembang menjadi organisasi yang bertaraf internasional.

Tapi ia bukan organisasi yang menadah bantuan asing. Bukan pula LSM yang menunggu program Negara Barat untuk liberalisasi. Ini adalah LSM yang murni dari kesadaran umat Islam di Turkey sebagai lembaga bantuan kemanusiaan.

Maka ketika tsunami menimpa Indonesia pada tahun 2004, telepon kantor Kimse Yok Mu yang baru berdiri itu tidak pernah berhenti berdering. Umat Islam disana seperti wanti-wanti “Anda harus tampil membantu korban”. Perjalanan pertama bantuan kemanusiaan ini disusul setahun kemudian dengan bantuan terhadap gempa bumi di Pakistan.

Dengan kedua pengalaman internasional diatas Kimse Yok Mu semakin memperkuat misi kemanusiaannya. Misinya berturut-turut dikirim ke Palestina-Lebanon, Peru, Bangladesh, Sudan-Darfur, Georgia-Ossetia, Myanmar, China, Gaza and Haiti. Bahkan bukan hanya itu, bantuan kemanusiaan Kimse Yok Mu terkadang berubah menjadi distribusi zakat dan shadaqah di bulan Ramadhan ke 60 negara di dunia.

Dengan 28 cabangnya di berbagai kota di Turkey, di ulang tahunnya yang ke 7 Kimse Yok Mu telah dapat membuat divisi-divisi bantuan. Sekurangnya telah ada 7 kategori yang ditangani seperti bantuan bencana, kesehatan, pendidikan, individu, bantuan keluarga miskin Afrika. Dari kategori tersebut bantuan terhadap keluarga bermasalah mengambil porsi terbesar.

Asosiasi Kimse Yok Mu memang bukan model LSM yang membantu lantas pasang nama. Usahanya memakmurkan dunia untuk setiap orang tidak melalui wacana teologis. Tidak terdengar disitu teologi pembebasan ala Asghar Ali atau teologi anthropomorphis model Hasan Hanafi.

Mereka adalah orang-orang Ahlus sunnah wal Jama’ah. Tidak ada potongan untuk dituduh teroris atau salafi. Tidak tercium pula bau-bau liberal sekuler yang ekstrim. Ideologinya hanya satu kata hismat. Organisasinya bermisi hismat. Organisatornya berjiwa hismat. Pekerja lapangannya bermental hismat.

Kimse Yok Mu adalah LSM yang membantu dan Karena itu dibantu. Kini ia tidak perlu bergerak di masjid-masjid dengan edaran kotak amal atau berkoar-koar di jalan-jalan meminta belas kasih donatur.

Kini ia hanya membuka pintu kantornya lebar-lebar untuk menunggu calon donatur yang berjiwa hismat. Mereka hanya seperti pasang maklumat: “Kami telah membangun jembatan kasih sayang bagi dunia. Adakah diantara kalian yang mau melewatinya?. Mungkin ini boleh jadi jembatan sirathal mustaqim yang tidak dapat dilalui kecuali oleh mereka yang ikhlas berkhidmat atau berhismat.

Kimse Yok Mu mungkin bisa menjadi rintihan kita semua. Kimse Yok Mu bisa diarahkan kepada kepala Negara, cendekiawan Muslim, pengusaha konglomerat Muslim, saintis Muslim dan sebagainya.

Muslim sulit belajar dengan beasiswa. Ekonomi umat Islam masih belum mandiri. Kimse Yok Mu, wahai pengusaha Muslim. Politik Islam tercabik-cabik oleh campur tangan asing, Kimse Yok Mu, wahai kepala Negara dan politisi Muslim.

Universitas dan lembaga pendidikan Islam belum menghasilkan ilmu-ilmu keislaman. Belum terpikirkan bagaimana membangun ilmu politik Islam, fisika Islam, biologi Islam, psikologi Islam, kedokteran Islam, antropologi Islam, dan sebagainya. Kimse Yok Mu, wahai cendekiawan Muslim.

Pendidikan dan Fitrah

Pendidikan dan Fitrah
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Dari kiriman whatsapp bp. Eko Heru Prayitno

Pendidikan dalam Islam dapat diartikan pengasuhan, pendidikan (tarbiyah), pengajaran ilmu (ta’lim), atau penanaman ilmu dan adab dengan mendidik dan mengajar (ta’dib). Konsep pendidikan Islam selama ini hanya dipahami dengan makna pengasuhan (tarbiyah) dan pengajaran (ta’lim) ia rawan untuk dirasuki pandangan hidup Barat.

Sehingga umat Islam berpikir berdasarkan pada nilai-nilai dualisme, sekulerisme, dan humanisme. Dengan nilai dualisme pengajaran dipisahkan dari pengasuhan, dengan sekulerisme ilmu yang diajarkan dibagi menjadi umum dan agama, dengan nilai humanisme pendidikan dan pengajaran diarahkan untuk kepentingan manusia yang tidak ada kaitannya dengan Tuhannya. Ilmu akhirnya tidak lagi untuk ibadah tapi untuk kemakmuran manusia.

Jika pandangan hidup Barat masuk kedalam pendidikan Islam, maka nilai-nilai adab menjadi semakin kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah.

Kekaburan makna adab atau kehancuran adab tersebut mengakibatkan kezaliman (zulm), kebodohan (jahl), dan kegilaan (junun). Artinya karena kurang adab maka seseorang akan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya (zalim), melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu (jahl) dan berjuang berdasarkan kepada tujuan dan maksud yang salah (junun).
Oleh sebab itu pendidikan Islam yang tepat adalah pendidikan yang menanamkan adab kedalam individu peserta didik, yaitu mengembangkan individu sesuai dengan fitrahnya.

Fitrah: Pendidikan dalam Islam merupakan sarana mengembangkan individu sesuai dengan fitrahnya. Fitrah dalam konteks ini adalah fitrah kemanusiaan dalam kaitannya dengan Rabubiyyah Allah, tuhannya. Ini merujuk kepada perjanjian manusia di alam ruh dengan Tuhannya yang tertuang dalam surah al-A’raf: 172 yang berbunyi:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku in Tuhanmu? Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami) kami bersaksi. (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kami tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (wujud Allah).
Jadi hakekatnya sebelum manusia lahir, di alam ruh ia telah mengenal Tuhannya. Ruh yang telah mengenal Tuhannya itu ketika lahir ke dunia dalam keadaan fitrah. Seperti yang terungkap dalam hadis Nabi: “Sesungguhnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, Majusi. (al-Hadis).

Jadi, lahir dalam keadaan fitrah maksudnya dalam keadaan yang cenderung mengenal rububiyyah Allah. Bukan kosong seperti teori tabula rasa. Sebab dalam perjanjian itu ruh manusia telah bersaksi (bala syahidna) bahwa Engkau adalah Tuhanku.
Fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa sejarah umat manusia selalu dipenuhi dengan usaha pencarian Tuhan. Allah selalu mengutus Nabi-nabi ke seluruh penjuru dunia untuk mengingatkan manusia akan mithaq antara manusia dan Tuhannya.

Jadi karena Allah sudah memasukkan suatu kesadaran akan wujud Tuhan dalam diri manusia, maka pengingkaran terhadap wujud Tuhan itu sebenarnya bertentangan dengan fitrah-nya. Orang-orang ingkar terhadap perintah Tuhan, sebenarnya adalah ingkar pada nuraninya sendiri. Namun, karena besarnya dosa dan maksiat maka nuraninya tertutup oleh dosanya.

Akan tetapi fitrah mengenal Tuhan saja tidak cukup bagi manusia untuk beribadah kepada Allah. Oleh sebab itu Allah mengutus Nabi dan menurunkan kitab suci. Kitab suci al-Qur’an itu menurut Ibn Taymiyyah adalah fitrah munazzalah (yaitu fitrah yang diturunkan).

Oleh sebab itu, semua yang ada dalam al-Qur’an itu tidak akan pernah bertentangan dengan fitrah manusia. Diatas fitrah ini jugalah Allah menurunkan agama (din) yang lurus (al-din al-qayyim) (al-Rum: 30)
Berdasarkan pada landasan Qurani diatas maka pendidikan dalam Islam sejatinya adalah menyadarkan kembali manusia-manusia Muslim akan fitrah-nya. Kemudian menyempurnakan fitrah-nya itu dengan fitrah munazzalah, yaitu mengajarkan kandungan al-Qur’an dan hikmah didalamnya yang merupakan asas bagi pandangan hidup manusia Muslim.

Kebebasan: Jika pendidikan itu berdasarkan pemahaman yang betul tentang fitrah manusia, maka pendidikan itu akan menghasilkan kebebasan. Bebas disini artinya bebas memilih antara dua alternatif, baik dan buruk, salah dan benar. Sebab memilih yang baik dari yang buruk, benar dari yang salah adalah fitrah manusia.

Orang yang merasa bebas memilih suatu pilihan termasuk jalan hidup, tapi bertentangan dengan fitrah atau nuraninya, maka hal itu sejatinya bukan bebas, tapi justru terpaksa. Ia tidak bebas sebab nurani fitri-nya ditekan atau dipaksa oleh nafsunya.

Kebebasan dalam Islam berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. Orang tidak akan bisa bebas memilih mana yang baik dan buruk kecuali dengan ilmu. Orang yang bebas memilih sesuka hati dan nafsunya jelas tanpa ilmu pengetahuan baik-buruk. Jika demikian halnya maka memilih tanpa ilmu bagaikan berjalan di kegelapan tanpa cahaya, sebab ilmu dalam Islam adalah cahaya dan petunjuk dari Allah.
Dalam hidup ini manusia dihadapkan kepada berbagai pilihan. Allah telah mengajarkan kepada manusia bagaimana menentukan pilihan. Doa yang diajarkan Nabi dalam shalat istikharah: Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika artinya Ya Allah aku mohon ditunjukkan pilihan yang baik dengan ilmum.

Memilih dengan ilmu Allah adalah memilih sesuai dengan kriteria yang diajarkan di dalam al-Qur’an. Sebab manusia tidak tahu baik buruk kecuali dari ilmu agama.

Oleh sebab itu pendidikan dalam Islam adalah pendidikan untuk memahamkan ilmu tentang yang baik dari yang buruk, jalan yang lurus dari yang sesat, yang benar (haqq) dari yang salah (batil) kepada anak didik.

Keadilan: Jika proses pendidikan itu berjalan sesuai dengan fitrah, maka ia akan menghasilkan rasa berkeadilan dan sikap adil. Adil dalam Islam berarti meletakkan segala sesuatu pada tempat dan maqamnya (level-nya). Untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya memerlukan ilmu tentang segala sesuatu dan tempatnya.
Manusia mempunyai aspek material dan spiritual. Jika pendidikan mengarahkan atau mengorientasikan anak didiknya untuk bersikap materialistis dan hedonistis maka pendidikan itu telah berlaku tidak adil pada anak didiknya.

Demikian pula jika pendidikan hanya menekankan pada aspek kognitif dan meninggalkan aspek afektif, atau menekankan ilmu dan mengabaikan amal, menekankan amal tanpa menghargai ilmu, jelas telah bertentangan dengan fitrah.

Corak pendidikan yang tidak sejalan dengan fitrah secara sosial akan mengakibatkan kepincangan. Kekayaan dan harta diperlakukan secara materialistis tanpa memedulikan aspek spiritualnya. Materi menjadi ukuran kaya dan miskin. Ilmu hanya dipahami sebagai akumulasi informasi dan bukan sebagai kekuatan petunjuk untuk menentukan pilihan. Pendidikan hanya menekankan pengajaran ilmu atau sains, tapi tidak memedulikan akhlaq dan sikap taqarrub kepada Allah. Akhirnya cendekiawan betapapun luas ilmunya tidak selamanya layak disebut alim dan saleh.

Demikianlah seterusnya, contoh-contoh itu bisa diperpanjang. Allah telah memberi petunjuk kepada manusia tentang yang haqq dan yang batil, dan keduanya tidak bisa disamakan apalagi dicampur.

Ketika datang yang haqq maka hilanglah yang batil (ja’a-l-haqq wa zahaqa al-batil). Orang yang mencampur sesuatu yang berlawanan itu dalam al-Qur’an malah dianggap zalim. Firman Allah: La talbisu imanakum bi zulmin artinya jangan engkau campur keimananmu dengan kezaliman, maksudnya syirik. Jadi orang mukmin yang melakukan perbuatan syirik maka ia telah berlaku zalim kepada dirinya yang fitri.
Bahkan berzina, mencuri atau korupsi dihukumi sebagai dosa karena semua itu hakekatnya adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, atau meletakkan hak milik orang lain di tempat dirinya.

Begitulah pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrah adalah pendidikan yang menanamkan sikap adil dalam segala sesuatu, yaitu dengan membekali ilmu pengetahuan kepada peserta didik agar dapat meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Itulah sikap beradab.

Pendidikan Kita : Sistem pendidikan di negara Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim ini bermacam-macam bentuknya. Yang sekarang kita kenal adalah sekolah-sekolah umum negeri dan swasta, madrasah-madrasah negeri dan swasta, perguruan tinggi negeri dan swasta, perguruan tinggi Islam negeri dan swasta.

Sebagai seorang Muslim pertanyaan mendasarnya adakah sistem dan materi pendidikan Islam kita ini telah sejalan dengan fitrah kemanusiaan kita yang selalu ingin mensujudkan segala sesuatu dalam kehidupan kita kepada Tuhan?

Jika kita cermati kurikulum dari sekolah hingga perguruan tinggi akan kita dapati bahwa ta’lim atau pengajaran agama hanyalah menjadi bagian kecil dari struktur kurikulum. Dan yang pasti pelajaran atau mata kuliah agama tidak menjadi asas bagi materi pelajaran dan mata kuliah yang lain.

Mata pelajaran IPA dan IPS di sekolah misalnya tidak dikaitkan dengan pendidikan agama. Mata kuliah Ekonomi, Psychology, Sosiologi dan lain-lain di universitas Islam swasta tidak dikaitkan secara konseptual dengan Islam.

Disini ilmu agama diletakkan pada posisi pinggiran, sehingga terjadilah dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama tidak menyentuh ilmu umum dan ilmu umum bebas dari agama.

Akhirnya, seorang Muslim tidak belajar ilmu ekonomi Islam dan psychology Islam, tapi belajar ekonomi kapitalis atau Sosialis, dan psikologi Barat sekuler. Sarjana-sarjana Muslim lebih kenal Karl Marx, Segmund Freud, Jung dan sebagainya, ketimbang ulama-ulama pakar ilmu-n-nafs seperti al-Balkhi, al-Ghazzali, al-Razi dan lain-lain.

Di sekolah-sekolah para peserta didik Muslim belajar Aqidah, Fiqih dan Bahasa Arab, tapi ia juga harus menerima teori evolusi Darwin, teori ekonomi kapitalis. Disini Ilmu yang diterima anak didik Muslim adalah ilmu yang dihasilkan oleh peradaban asing yang belum disesuaikan dengan pandangan hidup Islam.
Lebih jauh lagi, untuk menguji apakah keseluruhan pendidikan kita sudah sesuai dengan fitrah, maka perlu dipahami kandungan kurikulum sekolah kita secara menyeluruh.

Kurikulum dalam arti luas adalah semua kegiatan kependidikan yang meliputi pendidikan dan pengajaran, didalam dan diluar kelas. Apakah yang diajarkan di kelas sejalan dengan apa yang dijalankan dalam kegiaan diluar kelas, seiring seirama mengarah pada pembentukan manusia beradab, adil dan bebas. Apakah guru, dosen dan pendidik sudah berperan sebagai penyampai adab, yaitu ilmu dan akhlaq dan sekaligus seorang yang beradab alias berilmu dan berakhlaq. Itulah matrik-matrik pengukur apakah suatu pendidikan berdasarkan fitrah atau tidak.

Perlunya Universitas: Jika sistem pendidikan Islam kita tidak sesuai dengan fitrah manusia sehingga tidak bermakna ta’dib, maka perlu dicarikan jalan perbaikannya. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai dari pendidikan universitas.

Namun ia perlu berlandaskan pada pemahaman yang benar terhadap Hikmah Ilahiyah sehingga dapat melahirkan cendekiawan ulama yang saleh dan pemimpin Muslim atau umara’ yang bervisi ulama. Singkatnya ilmuwan yang mempunyai pandangan hidup Islam.

Penekanan pada pendidikan dasar dan menengah, menurut al-Attas lebih berbau pengaruh Westernisasi dan modernisasi. Memang penjajah ingin rakyatnya yang dijajah hanya berpendidikan menengah dan menjadi pekerja. Sementara yang berpendidikan tinggi adalah penjajah.

Jika umat Islam menekankan pendidikan menengah maka orang lain yang akan membentuk mereka pada tingkat perguruan tinggi. Penekanan tingkat menengah menjadi kurang perannya jika kemudian alumninya dipimpin oleh tamatan universitas. Singkatnya pembenahan pendidikan menengah tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan SDM dari universitas.
Agar universitas benar-benar Islami dan merupakan medium pengembangan individu, maka sebuah universitas, menurut S.M. Naquib al-Atas harus merupakan refleksi dari insan kamil ataupun “universal man” (al-insan alkulli atau insan al kamil) atau mengarah kepada pembentukan insan kamil. Contoh insan kamil dan universal itu yang sangat riil adalah figur Nabi Muhammad SAW sendiri.

Oleh sebab itu menurutnya seorang cendekiawan Muslim (ulama) bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, tetapi ia adalah seorang generalis yang mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.

Dengan menjadi generalis, maka seorang Ulama akan tahu banyak disiplin ilmu pengetahuan. Dengan ilmu-ilmu yang dimilikinya itu ia akan bisa bersikap adil, dalam artian mampu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Dan bisa bebas dalam artian dapat memilih yang baik dari yang buruk, yang benar dari yang salah, yang lurus dan yang sesat dan seterusnya. Itulah pendidikan yang sesuai dengan fitrah manusia.

Metodologi Studi Islam

Metodologi Studi Islam

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Dari kiriman whatsapp bp. Eko Heru Prayitno 31/3/15

Metodologi pengkajian Islam adalah pendekatan (approach) atau kerangka kerja (framework) dalam memahami atau mengkaji Islam. Metodologi pengkajian bukan hanya metode pengajaran (tariqat al-tadris atau tariqat al-ta’lim) atau cara penyampaian suatu materi atau subyek agar dapat dipahami murid atau mahasiswa. Metodologi lebih tepat dipahami sebagai manhaj al-fikri atau manhaj al-dirasah yang tercermin di dalam struktur silabus dan kandungan masing-masing mata kuliah.

Pada sekitar separoh kedua abad 20 metodologi pengkajian Islam mengalami pergeseran yang cukup penting. Hal ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa Islam dikaji oleh Muslim dan juga oleh non-Muslim.

Kajian yang dilakukan oleh non-Muslim, khususnya oleh orientalis, sedikit banyak dipengaruhi secara sosiologis oleh cara pandang dan pengalaman manusia Barat dan secara saintifik oleh perkembangan metodologi penelitian atau penyelidikan dalam ilmu-ilmu sosial di Barat.

Metodologi orientalis ini secara perlahan-lahan mempengaruhi metodologi pengkajian Islam di perguruan tinggi. Hal ini karena timbulnya kecenderungan di kalangan cendekiawan Muslim belajar kepada orientalis di Barat atau membanjirnya buku orientalis sebagai alternatif bacaan cendekiawan Muslim. Dalam situasi seperti ini pengkajian Islam dengan pendekatan tradisional telah tercampur, kalau tidak disaingi, oleh pendekatan orientalis.

Tapi yang pasti kajian orientalis itu berbeda dengan kajian para ulama dalam tradisi intelektual Islam. Kajian orientalis tidak berdasarkan keimanan (faith-based) sehingga tidak selalu dapat bersikap adil.

Artinya ketika mengkaji Islam mereka tidak dapat memahami dan meletakkan suatu konsep dalam tradisi intelektual Islam sebagai bagian dari struktur konsep yang tercermin dalam pandangan hidup Islam. Konsep ilmu yang dalam Islam berdimensi iman dan amal, misalnya, dipahami hanya sebagai ilmu dan diperoleh hanya dengan rasio.

Karena kehilangan dimensi iman maka ilmu tidak lagi berguna dan berkaitan dengan taqarrub kepada Allah. Karena konsep ilmu tidak diletakkan sebagai bagian dari struktur konseptual Islam, maka ilmu tidak lagi berhubungan dengan amal.

Demikianlah, kerancuan-kerancuan itu begitu banyak dan saling berkaitan. sehingga pembuktiannya memerlukan kajian konseptual yang panjang. Bagi yang tidak membaca secara kritis, kajian orientalis akan nampak rasional dan obyektif serta sejalan dengan tuntutan keilmuan kontemporer, tapi secara konseptual mengandung kerancuan-kerancuan.

Oleh sebab itu sedalam apapun ilmu yang dituntut dengan pendekatan ini tidak akan mencapai keimanan dan tidak mempengaruhi kualitas pengalaman keagamaan seseorang. Apalagi, cara pandang orientalis itu sendiri sudah tentu diwarnai oleh bias-bias kultural, politik (Lihat Edward Said, Orientalism, Vintage, New York, 1979, 1-3,5) tradisi dan kepercayaan (lihat Asaf Hussain et al,  Orientalism, Islam, and Islamists, Vermont, Amana Books, 1984, hlm. 15) yang merupakan pandangan hidup (worldview) mereka.

Dengan pandangan hidup Barat yang terkenal dengan doktrin dualisme, dikotomis dan sekulerisme itu maka pandangan orientalis terhadap Islam bersifat parsial. Kajian-kajian dalam bidang Syari’at tidak berkaitan dengan Akidah, kajian akidah tidak dikaitkan dengan akhlaq.

Demikian pula kajian filsafat, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya terlepas dari kajian terhadap konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an. Demikian pula kajian al-Qur’an tidak berdasarkan pada ilmu metodologi tafsir, tapi justru menggunakan metodologi Bibel.

Akhirnya, wajah pengkajian Islam berubah menjadi dua atau dalam perspektif yang serba dualistis: normatif atau historis, tekstual atau kontekstual, literal atau liberal dan sebagainya. Hal ini tercermin dari pernyataan Charles J. Adams dibawah ini:

…in contrast to the strong, indeed almost exlusive, textual and philological orientation of traditional Islamic studies, we have in this volume papers that deal, for example, with such subjects as Islamic worship, popular religious practice and the many-faceted significance of Qur’anic recitation in the daily lives of pious Muslim. The emphasis falls upon an exposition of Islam as it is experienced and lived by members of community.

Although the ideal forms of a normative Islam are not lost to sight, the recognition is brought to bear that the reality of religion has its locus in the experience of the devotee and that scholars must, above all else, subject themselves to that experience. (Richard C. Martin (ed), Approach To Islam In Religious Studies, Oneworld, Oxford, 2001, viii-ix

Kutipan diatas menunjukkan suatu asumsi akan adanya jenis-jenis pendekatan terhadap Islam. Pendekatan bersifat tekstual dan ekslusif (traditional Islamic studies), pendekatan sosiologis (Islam as it is experienced and lived) dan pendekatan Islam normatif (ideal form of a normative Islam).

Pendekatan seperti itu sah-sah saja asalkan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Masalahnya, dengan pendekatan seperti itu akan muncul Islam yang diamalkan dan Islam yang diajarkan, atau dengan kata lain Islam akan terbagi-bagi menjadi Islam historis dan Islam normatif, Islam sebagai agama dan Islam sebagai pemikiran keagamaan, yang pertama absolut yang kedua relatif.

Akibat pendekatan seperti ini maka teks (nass) dengan konteks sosial yang selalu berubah dipertentangkan. Karena pendekatan sosial lebih menonjol maka teks (nass) al-Qur’an pun tidak lagi dibaca secara filologis, tapi dengan metodologi hermeneutika. Metode ini menjanjikan interpretasi-interpretasi sosiologis, politis, psikologis, ontologis dan historis  dan sebagainya.

Dengan pendekatan ini otomatis makna-makna teks dalam tradisi intelektual Islam menjadi bermasalah. Pendekatan seperti ini menjadi semakin populer di kalangan cendekiawan Muslim akhir-akhir ini, khususnya ketika doktrin-doktrin postmodernisme seperti relativisme, pluralisme dan anti otoritas dianggap sebagai sesuatu yang tidak “haram” diterapkan dalam pengkajian Islam.

Meski pendekatan ini pada prakteknya cenderung dekonstruktif terhadap metodologi tradisional beberapa cendekiawan Muslim yang pro-Barat malah menganggapnya sebagai pemikiran alternatif, pemikiran baru atau pembaharuan pemikiran Islam (tajdid).

Sekedar contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan pemahaman orientalis mempengaruhi pemikir Muslim. Para orientalis dari generasi ke generasi menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad.

Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [Dalam bukunya The Quran: Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [Dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [Dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, [Dalam  Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [Dalam bukunya Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [Dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [Dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)]. Dan tidak ketinggalan pula Montgomery Watt dalam Muhammad: Prophet and Statesman menyatakan bahwa al-Qur’an adalah produk dari imajinasi kreatif Nabi Muhammad (product of creative imagination). (Asaf Hussain, “The Ideology of Orientalism” hlm. 15).

Pemahaman orientalis diatas diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa.

Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka ia adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi).

Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dan karena itu umat Islam tidak terlalu fanatik berpegang pada al-Qur’an; dan agar umat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa.

Jadi dengan hanya sebuah pengandaian atau asumsi (assumption) bahwa al-Qur’an tidak diturunkan secara lafdhan tapi secara ma’nan, maka metodologi dan framework pengkajiannya bisa berubah sama sekali dan bisa bertentangan dengan metodologi tradisional.

Kesimpulannya akan berakibat pada sikap dan perlakuan kita terhadap teks (nass) dan boleh jadi mengakibatkan desakralisasi teks dan bahkan dekonstruksi makna teks. Metodologi seperti ini tentu bukan pengembangan yang merujuk kepada tradisi intelektual dalam Islam, tapi lebih merupakan perubahan atau penggantian framework yang belum tentu bebas dari kerancuan.

Maka dari itu perlu upaya-upaya yang mempertahankan dan juga mengembangkan dan bukan merubah metodologi tradisional seperti yang digambarkan diatas. Dan tuduhan bahwa para ulama dahulu yang dituduh melulu menggunakan pendekatan tekstual eksklusif dan tidak kontekstual serta statis perlu dipertanyakan.

Manhaj Fikri

Manhaj al-Fikri

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Dari kiriman whatsapp bp. Eko Heru Prayitno

Ketika saya menulis thesis di Birmingham, Dr. David Thomas menasehati saya “kalau anda mau obyektif anda harus keluar dari (cara pandang) Islam”. Saya terkejut tapi tidak langsung menjawab, sebab dia temperamental.

Pada temu-janji berikutnya saya baru menjawab “If I get out of Islamic framework I will be, epistemologically, no longer a Muslim”. Dia sekarang yang terperangah. Raut mukanya mendadak berubah, ia lalu tertawa ngakak, “ok..ok…forget it” katanya.

Saya tidak mengerti mengapa sesingkat itu jawabannya. Tapi saya menangkap dia kurang percaya diri. Cara pandangnya dikotomis. Subyek dan obyek dipisahkan secara paksa. Agar bisa obyektif maka saya (subyek) harus memisahkan diri dari obyek.

Memang dia sendiri, yang Katholik itu, dalam kuliah-kuliahnya, cenderung melihat sejarah Islam dari perspektif Kristen. Saya maklum. Tapi ketika dia sendiri memahami Kristen dari visi Kristen dia menjadi “curang”. Persoalannya adalah bagaimana dan dengan apa sesuatu itu dipahami.

Soal cara memahami alumni pesantren modern mungkin tidak akan lupa prinsip al-tariqat ahammu min al-maddah (metode lebih penting dari materi). Dan guru lebih penting dari metode (al-mudarrisu ahammu min al- Tariqah).

Pisau lebih penting dari mangga, tapi (keterampilan) pengupas lebih penting dari pisau. Itu prinsip bagaimana memahamkan sesuatu (pengajaran) di tingkat menengah. Di perguruan tinggi masalahnya bukan metode lagi, tapi metodologi.

Bukan hanya pisau tapi pisau analisa, framework, manhaj atau cara pandang. Inilah sebenarnya inti nasehat David. Di tingkat menengah, jika metode atau tariqah gagal, murid tidak paham.

Tapi di perguruan tinggi salah memilih framework atau manhaj membuat mahasiwa bingung kalau tidak tersesat. Prinsipnya mungkin berubah menjadi al-manhaj ahammu min al-maddah wa al-mudarris (framework lebih penting dari materi dan dosen).

Dalam kajian Islam suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu “metabolisme” dalam nutrisi spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul, manfaat yang jelas merupakan sebagian dari bangunan framework.

Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafii, maka ilmu dan iman sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya.

Pemikir mesti ahli zikir dan irama zikir harus sejalan dengan kerja pikir. (Ali Imran: 190-191). Karena cahaya itu dari Allah, maka alam pikiran Muslim merupakan refleksi Ilmu Ilahi. Alam pikiran Muslim membentuk miniatur alam semesta yang terstruktur (microcosmos).

Pancaran pandangannya terhadap hidup dan kehidupan seluas pancaran cahaya pandangan hidup Islam (worldview). Itulah sebabnya mengapa Iqbal menyimpulkan Muslim tidak ditelan cakrawala seperti kafir, tapi justru menelannya. Alam pikiran Muslim yang diwarnai pandangan hidup Islam adalah framework.

Jika alam pikiran manusia adalah framework, maka Alparslan Acikgenc benar “Setiap peradaban perlu framework” untuk memahami dirinya sendiri. Barat, India, Kristen, Islam dan sebagainya punya framework.

Siapapun berhak memahami Islam, sebab Islam turun untuk umat manusia. Tapi, memahami Islam bukan hanya memahami data dan fakta sejarah. Framework kata Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data.  Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.

Artinya, bagaimana data dan fakta dalam peradaban Islam itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data dan fakta sebagai obyek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subyek yang mikrokosmis tersebut [Lihat Fussilat, 53].

Ini firman Tuhan. Karena itu realitas alam pikiran Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiristis atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran sinar wahyu.

Tapi memahami Islam tidak bisa dengan framework apapun atau alam pikiran siapapun. Jika seorang ateis diizinkan memahami framework Islam, maka Nabi bisa jadi penipu. Kalau alam pikiran sekuler dipakai, shahadat menjadi manifesto sekulerisasi. Menurut alam pikiran liberal, Nabi, Umar ibn Khattab dan lain-lain adalah seorang tokoh liberal sejati dan seterusnya.

Begitulah, jika realitas obyek dipisahkan dari alam pikiran subyek atau jika realitas (haqiqah) data dan fakta tidak diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus). Jika afaq dipisahkan dari anfus (worldview), maka ia akan menjadi hampa, bak lagu tanpa irama. Begitulah, konsekuensi sebuah framework.

Itulah salah satu alasan mengapa Muslim tidak bisa memakai framework peradaban lain. Framework Barat itu problematis, kata Sayyid Hossein Nasr. Mereka melupakan beda rasio dan intelek.

Dalam Islam, istilah ‘aql sudah mencakup keduanya. Ratio (Latin) berarti pikiran manusia, tapi ‘aql-‘aqala mempunyai arti “mengikat”. Suatu bagian dalam diri manusia yang mengikat dirinya dengan Tuhannya. (makhluq dengan khaliq), yang menyatukan fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena, simbol dengan makna, afaq dan anfus, subyek dengan obyek, nisbi dengan mutlak dan seterusnya.

Karena anugerah ‘aql inilah maka manusia memiliki salah satu sifat Tuhan, yakni ‘alim. Barat yang rasionalistis itu telah membuang fakultas pengikat ini. Maka tidak salah jika Iqbal menyimpulkan, rasionalisme Barat hanya bisa menghasilkan superman, seperti Nietszhe, tapi nalar dan akal Islam menghasilkan insan kamil, seperti para ulama yang saleh.

Jadi, Muslim bisa menggunakan metode asing tapi bukan frameworknya. Muslim bisa menelan cakrawala pemikiran asing, tapi dengan Cakrawala Muslim. Muslim bisa pakai handphone produk Barat, misalnya, tapi tidak mesti harus menjadi sekuler-liberal. Orang Barat bisa pakai minyak dari Saudi tapi tidak perlu bersyahadat dan naik haji.

Sains Barat tidak sepenuhnya ditolak atau diterima.  No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected, S.H.Nasr. Unsur asing perlu dicerna, diproses untuk diserap dan atau dibuang. Persis metabolisme tubuh manusia.

Matthew Melko, profesor sosiologi di Universitas Wright, Ohio, setuju One civilization rarely receive material from another without changing the nature of that to fit its own pattern. (lihat Stephen K.S. Civilization and World System).

Pattern adalah framework, alat cerna unsur-unsur asing. Jika ada yang berargumentasi bahwa “inti sekulerisasi adalah rasionalisasi, dan rasionalisasi sejalan dengan Islamisasi, maka sekulerisasi itu adalah Islamisasi”, maka ia telah salah menentukan framework.

Sebab dalam framework atau manhaj ini Kant, Nietsche, Derrida dkk. pun bisa menjadi figur yang “saleh”. Bagi yang setuju dengan gerakan gender dan feminisme, syariat Islam itu menindas wanita. Benturan Islam-Barat direduksi menjadi Sexual clash of Civilization.

Jadi jika Islam dipandang dari framework Barat, maka yang nampak bukan wajah asli Islam. F.Rosenthal sendiri mengakui “Anything lying outside one’s own experience cannot be comprehended in its true dimension”. Begitulah, menerima pandangan Alparslan bermakna menolak nasehat David.

Pengikut “profesional” Barat mungkin akur dengan Thomas. “Jangan melihat Islam dari dalam Islam, lihatlah dari (framework) Barat”. Tapi ketika mereka harus mendukung “proyek” pluralisme agama, terpaksa harus “selingkuh”, “Jangan melihat Kristen dari framework Islam”. Bagi yang arif akan terbesit di kedalaman dhomir mereka kesimpulan kreatif “Jangan mengikuti Barat dengan framework Barat, lihatlah Barat dengan manhaj Islam”.

Jadi, daripada mendengar nasehat David lebih baik membaca pengakuan Rosenthal yang jujur dan adil. “Suatu peradaban” katanya, “cenderung berjalan diatas konsep-konsep penting…Yang telah ada sejak kelahirannya… jika [konsep-konsep] itu tidak lagi digunakan secara benar, maka ia merupakan pertanda yang jelas bahwa peradaban itu telah mati”.

‘Ilm adalah salah satu konsep penting dan dominan dalam peradaban Islam yang memberinya bentuk dan warna yang khas. Diatas konsep ‘ilm inilah peradaban Islam berjaya dan berjalan selama berabad-abad. Dan di kedalaman konsep ‘ilm inilah manhaj pemikiran Islam tersembunyi.

Hikmah

Hikmah

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Dari kiriman whatsapp bp. Eko Heru Prayitno

Sila keempat dari Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Hikmat ini tentu bukan personal, bukan Presiden atau kedua DPR atau MPR.

Hikmat adalah suatu kondisi kejiwaan dan dalam sila ini dikaitkan dengan sikap dalam bermusyawarah dan menentukan kebijakan. Artinya sistem permusyawaratan dan perwakilan dalam bernegara di Indonesia ini mestinya dipimpin oleh moralitas yang tinggi.

Dalam bahasa umum hikmah dipahami sebagai kebijaksanaan atau bijaksana. Dalam al-Qur’an terdapat perintah untuk berdakwah dengan bijaksana (bi al-hikmah). Maka orang yang memutuskan perkara demi menegakkan keadilan disebut hakim.

Hikmah juga berkaitan dengan berpikir yang logis dan mendalam. Karena itu Ibn Rusyd menerjemahkan “hikmah” dengan filsafat dan hakim dengan filosof. Lalu apa sebenarnya makna “hikmah” itu?

Istilah itu asli dari al-Qur’an dan disebut sebanyak 20 kali. Namun para ulama mengembangkannya menjadi berbagai makna. Ada hikmah ilahiyah, hikmah khuluqiyah, hikmah tabi’iyyah, hikmah amaliyyah dan sebagainya. Namun dalam konteks kehidupan individu dalam berbangsa pendapat para filosof dan sufi menarik dicermati.

Menurut al-Ghazzali hikmah adalah salah satu dari unsur akhlaq mulia selain keberanian, kejujuran dan keadilan. Maka berakhlaq mulia dalam Islam itu bukan sekedar berperilaku baik, tapi juga berilmu tentang kebaikan, bersikap berani menyatakan kebenaran, berlaku adil terhadap segala sesuatu alias tidak zalim.

Agar memiliki hikmah, keberanian, kejujuran dan keadilan diperlukan ilmu. Sebab berani dan adil tanpa ilmu bisa salah jalan alias sesat. Orang berilmu yang tidak jujur, ilmunya tidak manfaat. Demikian pula kekuatan dan manfaat ilmu dapat dilihat ketika seseorang itu dapat membedakan antara kejujuran dan kebohongan, antara haq dan batil, antara baik dan buruk.

Jadi hikmah menurut al-Ghazzali adalah keadaan kejiwaan seseorang yang dapat mengetahui yang baik dari yang buruk benar dalam segala perbuatan. (Ihya, III, hal. 54). Ibn Arabi dalam Futuhat juga berpendapat sama.

Lisan al-Din al-Khatib, ulama abad ke 14, dalam kitab Raudat al-Ta’rif memahami hikmah seperti keadilan, yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya. Syaratnya, harus memahami letak-letak segala sesuatu.

Tapi meletakkan sesuatu pada tempat bukanlah kerja mudah. Menurut Naqsyabandi, dalam kitab Jami al-Usul, hikmah itu adalah ilmu tentang segala sesuatu, sifat-sifatnya, kekhususannya, hukum-hukumnya, hubungan sebab-akibat dan mengamalkan sesuai yang dibutuhkan.

Ikhwanussafa menjelaskan orang yang memiliki hikmah atau “al-hakim” adalah yang perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan; kerjanya tekun, perkataannya benar, moralnya baik, pendapatnya betul, amalnya bersih dan ilmunya benar, yaitu ilmu tentang segala sesuatu.

al-Ghazzali menambahkan al-hakim adalah orang yang jiwanya memiliki kekuatan mengontrol dirinya sendiri (tamakkun) dalam soal keimanan, akhlak dan dalam berbicara. Jika kekuatan ini terbentuk maka akan diperoleh buah dari hikmah, sebab hikmah itu adalah inti dari akhlak mulia.

Maka “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” menggambarkan nilai sebuah sistem yang dikusai oleh semangat hikmat. Artinya sistem kenegaraan Indonesia harus berada di tangan orang-orang yang “hakim”. Yaitu orang yang berilmu hikmah, yang pasti tahu kebenaran yang berkata benar; yang tahu dan berani memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar; yang tahu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya; tidak akan pernah meletakkan kepentingan dirinya diatas kepentingan rakyat atau umat, tidak meletakkan perbuatan dosa atau maksiat dalam dirinya yang fitri dan seterusnya.

Walhasil, jika sistem permusyawaratan di negeri ini dikontrol oleh akal pikiran dan jiwa yang demikian itu maka tidak akan ada kebijakan yang salah di negeri ini. Tidak akan ada korupsi di pemerintahan dan tidak akan ada kebohongan publik.

Negeri ini pasti akan menjadi makmur dan sejahtera karena semua berjalan diatas jiwa-jiwa yang penuh hikmah alias hakim. Sebab al-Qur’an sendiri menjamin “Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….” (QS. 2 : 269).

Makna Akhlaq

Makna Akhlaq

Oleh: Dr Hamid Fahmy ZarkasyiZarkasyi

Dari kiriman whatsapp bp. Eko Heru Prayitno 28/3/15

“It’s better to be moralist rather than religious”. Lebih baik moralis daripada religious. Itulah salah satu cara orang liberal-sekuler-humanis membunuh agama. Di Barat sana agama memang pernah menjadi sumber fundamentalisme dan kekerasan. Disini, di negeri-negeri Islam tidak. Tapi untuk bisa diberi cap yang sama, agama direkayasa agar melakukan kekerasan. Ini misinya.

Caranya agama dihancurkan dari konsep dasarnya. Salah satunya adalah makna akhlaq. Yang sekuler berupaya mensekulerkan maknanya. Maka ber-akhlaq itu sama dengan bermoral. Yang liberal dan humanis berusaha menghapus konsepnya. Bagi mereka “Muslim tidak perlu ber-akhlaq, berbuat baik pada sesama itu lebih mulia”. Masalahnya apa bedanya moral dan akhlaq serta apa pula makna karakter dan etika itu.

Akhlaq adalah kata jama’ dari kata khulq. Akar katanya serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim).

Alasannya jelas, jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berpikir, berkehendak dan berperilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya.

Lalu mengapa manusia melawan fitrahnya? Karena kerja orang tua. Orang tua menanam benih kejahatan pada anaknya. Jika ia tanam benih kebaikan, maka sempurnakan fitrah anaknya.

Hadis Nabi jelas, orang tua berkuasa membuat anaknya Muslim atau kafir. Agar fitrah manusia itu sempurna Allah menurunkan fitrah yang lain yaitu al-Qur’an. Ibn Taymiyyah menyebutnya fitrah munazzalah.  Dengan al-Qur’an fitrah manusia akan berkembang sempurna.

Fitrah manusia yang berkembang mengikuti al-Qur’an adalah Nabi Muhammad. Karena itulah maka pribadinya menjadi teladan umatnya. Jiwanya memancarkan cahaya. Perilakunya menjadi hukum dan tata etika. Nafasnya adalah dzikir yang berirama. Kalamnya meluncur penuh hikmah bijaksana.

Itulah makna kesimpulan Aisyah bahwa akhlaq Nabi adalah al-Qur’an (Khuluquhu al-Qur’an).  Sebab jiwa Nabi tidak saja sesuai tapi tenggelam dalam samudera kebaikan dan kesempurnaan al-Qur’an.

Bagaimana al-Qur’an bisa menjadi akhlaq, bisa dijelaskan. Fakhruddin al-Razi. Misalnya, menulis buku Kitab al-Nafs wa al-Ruh, Fi ‘ilm al-Akhlaq. Didalamnya terdapat 32 pasal tentang akhlaq dan penyembuhan penyakitnya.

Jiwa manusia (nafs), misalnya, terbagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama adalah mereka yang tenggelam dengan Nur Ilahi disebut al-Muqarrabun. Kedua adalah mereka yang berorientasi ke langit dan terkadang ke bumi untuk urusan dunianya yang dinamakan al-Muqtasidun atau golongan kanan (ashab al-yamin).

Terakhir, dan terendah adalah yang tenggelam dalam cengkeraman hawa nafsu dan kenikmatan jasmani, disebut al-Zalimun atau golongan kiri (ashab al-syimal). Ilmu untuk mencapai yang pertama adalah olah batin (riyadah ruhaniyah). Ilmu untuk mencapai yang kedua adalah ilmu akhlaq. Makna akhlaq dilacak dari sumber perilaku manusia yang berupa  aql, ruh, nafs, qalb  dan cara kerjanya.

Berbeda dari akhlaq, istilah “moral” dalam Oxford English Dictionary dan kamus-kamus lain diartikan sebagai perilaku baik-buruk manusia. Prinsip-prinsipnya disebut etika atau filsafat moral.  Ketika moral menjadi semangat atau sikap masyarakat ia disebut “etos”. Itu semua, termasuk baik buruk yang pastinya bersumber dari kesepakatan manusia (human convention).

Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi bermoral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, yang tidak selalu bersifat ilahi dan religious.

Orang ber-akhlaq dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral itu ber-akhlaq. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, tidak korup dan sebagainya. bisa dianggap bermoral. Tapi ia tidak berakhlaq jika ia seorang lesbi/homo, pezina, korup, “peminum”, penjudi dan sebagainya. Saudagar kaya raya yang dermawan, zakatnya milyaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya lumayan, bisa dianggap bermoral tinggi. Tapi jika ia adalah pengusaha narkoba atau prostitusi, atau rentenir ia tidak ber-akhlaq.

Kini akhlaq juga diganti dengan istilah “karakter” (Yunani: kharakter). Character diartikan sebagai ciri yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau reputasi. Tapi character juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan.

Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber”peran” baik. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa tapi dorongan masyarakat. Mungkin nampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi ilahi.

Maka berkarakter juga tidak mesti berakhlaq. Di masa lalu, misalnya, terdapat seorang gubernur yang dianggap berkarakter tinggi. Ia tegas, berdisiplin tinggi, konsisten, berwibawa dan berwawasan luas. Tapi ia membolehkan perjudian dan pelacuran menjadi sumber APBD. Siapapun menentangnya akan dicemooh. Ia berkarakter tapi tidak ber-akhlaq. Begitulah Muslim bisa bermoral dan berkarakter, tapi tidak mesti ber-akhlaq.

Tapi jika makna ber-akhlaq hanya dibatasi secara sempit maka ia akan sesempit makna moral. Ber-akhlaq yang sempit hanya berpedoman halal-haram atau wajib-sunnah. Hubungannya dengan Tuhan tidak disempurnakan dengan hubungan antar manusia (mu’amalah ma’annas).

Ibadahnya sempurna, pakaiannya sederhana, lidahnya fasih melantunkan ayat-ayatNya. Tapi, tindakan dan ucapannya menyakiti sesamanya atau orang-orang dibawahnya. Inilah makna ber-akhlaq yang salah. Maka jangan heran jika ada tokoh agama terjerumus skandal tahta, harta dan wanita.

Sebaliknya, bagi Muslim sekuler-liberal-humanis, standar halal-haram, wajib-sunnah ditinggalkan. Standar baik-buruk hanya dari kesepakatan manusia.

Akibatnya, meniru akhlaq Nabi pun menjadi aneh kalau tidak utopis. Berjanggut seperti Nabi kini dianggap seperti berpedang atau bersenjata. Menolak ajakan korupsi dianggap “sok suci”. Berdemo sambil bertakbir sama dengan “ngajak” perang. Menghukumi kesesatan dan kemaksiatan dianggap fundamentalis, teroris dan anti HAM. Berdakwah tidak boleh menggurui dan sebagainya.

Begitulah, karena sekularisme, liberalisme dan humanisme maka beragama menjadi tidak mudah, apalagi ber-akhlaq. Padahal Francis Fukyama mengingatkan bahwa ketahanan suatu bangsa tergantung pada  keberagamaan masyarakat dan etikanya.

Dengan etika, katanya, ekonomi dan politik akan berfungsi dengan baik. Mungkin maksudnya akhlaq. Jauh sebelum itu ulama arif bijaksana juga telah mengingatkan “Bangsa-bangsa akan kekal jika masih ber-akhlaq. Jika hilang akhlaq-nya maka hilang pula bangsa itu.

al-Qur’an lebih tegas lagi jika suatu bangsa itu bertaqwa maka akan diturunkan berkah dari langit, dan jika tidak lagi ber-akhlaq maka pasti dihancurkan oleh Allah.

Jadi sesungguhnya bangsa ini sedang dihancurkan. Bukan oleh kekuatan militer. Tapi oleh upaya penghancuran moral dan bahkan akhlaq pemimpinnya, anak mudanya, anggota DPR-nya, hakim-hakimnya dan cendekiawan Muslimnya dan sebagainya.

Ulama Saintis

Ulama Saintis

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi.

Dari kiriman whatsapp bp. Eko Heru Prayitno

Dalam Konferensi Pertama Pendidikan Islam Se-Dunia di Mekkah tahun 1977, dan yang kedua di Islamabad tahun 1980, Professor Naquib al-Attas menyampaikan pandangannya bahwa problem utama umat Islam adalah ilmu pengetahuan. Dan untuk menyelesaikan masalah itu umat Islam perlu menyusun kembali konsep keilmuan Islam yang mengarah pada pembentukan universitas Islam.  Yaitu iniversitas yang struktur, epistemologi dan teleologinya berbeda dari universitas Barat sekuler.

Ide itu disambut baik oleh dunia Islam. Dan pada tahun 80an berdirilah Universitas Islam Internasional di Islamabad Pakistan dan Malaysia. Disitu upaya untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan Islam dan Barat dilakukan secara institusional.

Upaya ini dikenal juga dengan istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer. Namun karena masalah sumber daya manusia dan berbagai persoalan internal yang menggelayuti umat Islam, proyek ini belum memenuhi harapan dan bahkan ditentang.

Nampaknya, masih dalam upaya yang sama ketika Liga Universitas Islam, Mesir, bekerjasama dengan Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, mengadakan Konferensi Internasional.

Konferensi yang diadakan pada tanggal 90-11 Januari 2011 yang lalu itu bertema “Membangun tradisi ilmiah dengan universitas-universitas Asia”.  Maksudnya adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan di universitas-universitas Islam dengan cara kerjasama dengan berbagai pihak khususnya dengan universitas-universitas di Asia.

Konferensi yang dihadiri 200 akademisi termasuk 15 rektor universitas di negera-negara Arab 15 rektor dari universitas di Indonesia dan Malaysia itu membahas tiga topik  utama. Pertama, Tentang Sejarah kebangkitan, pengaruh dan peran universitas Islam masa kini. Kedua, Tentang pengalaman dalam pengembangan universitas dalam berbagai hal. Ketiga, Model pengembangan keilmuan di universitas Islam. Termasuk pada masing-masing topik ini pengalaman kerjasama.

Pembahasan topik pertama banyak diisi oleh universitas di Timur Tengah. Dan yang paling menonjol adalah tentang sejarah dan peran universitas al-Azhar di Mesir dalam dunia Islam.

Peran universitas yang berumur 1000 tahun lebih itu di dunia Islam cukup besar. Sebab kini sebanyak 36.000 mahasiswa dari 102 negara asing sedang belajar disana. Diantara mahasiswa asing itu yang mendapat beasiswa berjumlah ribuan.

Topik kedua tentang pengalamaan universitas Islam masa kini dalam pengembangan berbagai aspek pendidikan tinggi. Diantara pembahasan yang menarik adalah tentang pengembangan ekonomi Islam. Pengalaman pengembangan ekonomi oleh Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI) Saleh Kamil, Mesir dan pengembangan enterpreneurship di Universitas Brawijaya cukup menarik.

Kini PSEI telah mengoleksi 2500 makalah tentang ekonomi Islam yang terus akan dikembangkan. Dan sejak tahun 2009 PSEI sedang menyusun buku teks tentang ekonomi Islam dari berbagai aspeknya.

Sementara keberhasilan UNIBRAW dalam pengembangan mental enterpreneurship kepada mahasiswanya penting untuk diadopsi untuk pengembangan ekonomi Islam. Namun wacana untuk mendialogkan keduanya masih belum maksimal.

Topik ketiga adalah tentang model-model pengembangan riset dan kajian sains dan ilmu humaniora di universitas Islam. Disini pengalaman UNAIR dan Gajah Mada dalam pengembangan sains, meskipun murni sains, cukup penting sebagai obyek pembelajaran bagi universitas Islam.

Apa yang tersirat dari topik pembahasan ketiga ini sebenarnya adalah suatu kerja besar. Yaitu proses yang disebut asimilasi atau integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Masalah yang dihadapi adalah masih banyaknya cendekiawan Muslim yang tidak sepakat, karena percaya bahwa ilmu itu netral alias bebas nilai. Karena itu semua ilmu dianggap Islami dan tidak perlu Islamisasi. Sebaliknya, mereka justru melihat Islam itu perlu diilmukan.

Sekurangnya terdapat dua masalah mendasar sebagai berikut ini:

Pertama, Kelambatan universitas Islam dalam mengembangkan epistemologi dan sains Islam. Ini disebabkan oleh terputusnya cendekiawan Muslim dengan tradisi intelektual Islam dan terlalu menekankan pada ilmu-ilmu naqliyyah dan sedikit mengkaji kembali ulum ‘aqliyyah;

Kedua, Lemahnya penguasaan cendekiawan Muslim tentang sains dan epistemologi Barat. Akibatnya adalah sikap apriori atau apresiasi terhadap Barat secara berlebihan, sehingga tidak dapat mengambil manfaat dari Barat secara cerdas.

Karena itu, kini di beberapa universitas Islam kajian sains dan ilmu humaniora baru pada tahap disandingkan dengan studi Islam atau hafalan al-Qur’an. Upaya lebih akademik untuk membangun struktur keilmuan Islam dengan basis epistemologi, metodologi penelitian dan teori-teori baru penelitian yang berdasarkan konsep-konsep Islam dapat dikatakan masih sangat minim, untuk tidak mengatakan tidak ada. Apalagi upaya untuk mengkaji secara kritis struktur keilmuan Barat sekuler untuk dapat mengadapsi kedalam struktur konsep keilmuan Islam masih sangat langka.

Mungkin baru pada disiplin ilmu ekonomi Muslim menyadari adanya teori, asumsi, dan metodologi yang tidak sesuai dengan Islam. Padahal disiplin ilmu lain juga banyak mengandung teori, asumsi dan metodologi yang tidak Islami.

Jika kesadaran ini dimiliki cendekiawan Muslim tentu akan nampak jalan panjang untuk mengembangkan konsep sains Islam, sosiologi Islam, politik Islam dan filsafat Islam, pendidikan Islam, multimedia dan komunikasi Islam dan sebagainya

Namun, untuk itu diperlukan kerjasama sinergis antara cendekiawan Muslim pakar di bidang studi Islam dan bidang sains Barat. Pengalaman kerjasama Universitas Gajah Mada dengan universitas di Mesir adalah permulaan yang baik dan dapat dikembangkan di masa depan.

Demikian pula pengalaman kerjasama UIN Alaudin Makassar, UIN Malang dengan berbagai universitas di Timur maupun di Barat merupakan pelajaran menarik.

Namun, persoalannya apakah kerjasama itu memberi kontribusi pada proses pembangunan konsep-konsep keilmuan Islam. Apakah disitu terjadi proses pembelajaran cerdas sehingga, seperti ulama di masa lalu, kita bisa menghasilkan ilmu-ilmu baru yang memiliki dasar epistemologi Islam yang kuat.

Isu penting lainnya dalam topik ini adalah bagaimana model studi Islam pada fakultas sains dan humaniora di tingkat universitas. Proposal menarik diajukan oleh Alparslan Acikgence dari Turkey.

Menurutnya, model studi Islam harus disusun mengikuti pola pembentukan worldview dalam diri seseorang. Bermula dari keyakinan dasar di tingkat sekolah hingga menjadi bersifat saintifik di tingkat universitas.

Jadi yang mestinya diajarkan pada fakultas-fakultas sains dan humaniora bukan lagi soal aqidah, syariat dan akhlaq. Tapi harus bidang ilmu yang relevan dengan fakultas dan program studi yang ditekuni mahasiswa sesuai dengan worldview mereka.

Lagi-lagi disini kerjasama sinergis antara cendekiawan Muslim bidang sains dan humaniora mutlak diperlukan. Tujuannya adalah menciptakan berbagai disiplin ilmu yang berbasis worldview Islam dan melahirkan ulama yang saintis yang menjadi rahmatan lil alamin. Inilah yang diimpikan oleh al-Attas pada kurang lebih empat dasawarsa yang lalu dan kini sedang ditunggu oleh masyarakat luas.